Perempuan Dalam Budaya Pamali

 Perempuan Dalam Budaya Pamali

Pamali merupakan norma adat tidak tertulis yang berkembang pada masyarakat, yang mana biasanya mengacu pada ketertiban. Pamali sendiri banyak kita singgung dan erat hubungannya dengan masyarakat adat atau masyarakat desa. Lalu apakah pamali sendiri mempunyai dampak? Pasti ada, mungkin banyak sekali dampak dari mulai karir, kehidupan dan lainnya. Sebagai masyarakat desa yang hidup dari kecil di lingkup pedesaan, aku sudah sangat kenyang akan hal yang disebut pamali, dari pamali ini aku merasa banyak di batasi mengeksplorasi hal-hal tertentu contohnya ketika aku duduk di depan pintu pasti ibuku berkata “jangan duduk didepan pintu, pamali nanti jodohnya balik lagi” dan masih banyak lainnya.


Pamali juga membuat ku seolah di sekat dalam kebebasan memilih, dan kebanyakan pamali lebih mengarah pada perempuan, dimana perempuan tidak boleh ini, perempuan tidak boleh itu pamali dan lain sebagainya. Lalu sebagai norma tidak tertulis apakah harus di patuhi? Menurut ku tidak ada studi empiris orang-orang yang melanggar beberapa pamali mendapat konsekuensi (?) kecuali di gunjing keluarga dan di marahi orang tua? contohnya seperti yang ibuku bilang bahwa duduk didepan pintu itu bikin jodoh kita balik lagi, faktanya tetap banyak yang menikah meskipun pernah duduk ditengah pintu, walaupun tidak ada data tertulis mengenai ini.


Lalu bagaimana seorang bisa mengekspresikan kebebasannya terutama yang hidup di pedesaan, ada hal yang menarik ketika kita sudah menikah beberapa kutukan pamali ini bisa kita tembus, lalu apakah setelah kita menikah barulah kita mendapatkan kebebasan sebagai perempuan? Menurut ku tidak juga, lalu apakah pamali itu ada hanya untuk membatasi kita dalam hal-hal yang berbau kebebasan? Jawabnya ada pada diri masing-masing, banyak yang mengamini pamali, banyak juga yang membangkang pamali dengan dalih mitos.


Di era moderen ini masyarakat adat atau desa masih saja mempercayai pamali yang belum jelas sumbernya, berawal dari suatu kebiasaan hingga jadi suatu aturan tidak tertulis dan menjamur. Perempuan disekat dan di subordinasikan dengan kata pamali, di labeli dan di gunjing apabila melanggar, miris dan sedih. Sebagai orang yang lahir dari pedesaan pelosok, aku sangat kenyang mendengar si “ini” si “itu” yang begini begitu berujung dibandingkan dan diasingkan, lalu munculah kata pamali sebagai penambahan kenikmatan dalam menghakimi perempuan. Ini mungkin berdasarkan pengalaman empiris penulis saja.


Padahal jauh dari pada itu, perempuan itu bebas mengekspresikan hidupnya tanpa di batasi, tanpa di labeli, tanpa di sekat dengan hal-hal tidak berdasar dan masih belum jelas aturannya seperti pamali. Perempuan berhak untuk tertawa hingga giginya mengering karena nampak dadi luar, perempuan berhak duduk di mana pun, perempuan berhak melakukan apapun selagi tidak merugikan dirinya dan orang lain.


Dibeberapa aspek penulis setuju mengenai pamali yakni misalnya pamali boko atau kaitannya dengan mencuri barang orang, ini hal yang berdampak pada diri sendiri dan orang lain dan memang seharusnya di katakan pamali, sehingga mungkin bisa dikatakan aturan tidak tertulis yang harus ada dan ditaati oleh banyak orang. Tapi untuk hal-hal yang tidak berdasar sehingga merugikan diri sendiri itu adalah hal yang tidak dibenarkan, terlebih lagi hal ini mengarah lebih banyak kepada perempuan, dimana pada budaya jawa Manut adalah sebuah kepatuhan dan penghormatan sehingga apabila yang lebih tua berbicara dan membawa kata pamali hal ini akan dengan tanpa perlawanan di iyakan meskipun merugikan diri sendiri.


Semoga di era moderen ini, budaya pamali tidak memberikan sekat kembali pada perempuan. Penulis tidak menyudutkan suatu budaya atau norma tetapi hanya ingin menyuarakan suatu hak kebebasan dimana sebagai pengalaman empiris dan beberapa orang terdekat mengalami hal ini secara langsung, mungkin ada perspektif lain mengani pamali yang lebih bisa diterima dari pada pandangan penulis, karena ditulis dari kejadian empiris dan sudut pandang seorang perempuan

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SELAPUT DARA KU (Sebuah Cerpen)

Keterlibatan Anak dalam Pembangunan Berkelanjutan: Menghormati dan Melindungi Hak Mereka. Lalu Apakah Hak Tersebut Telah Terpenuhi? (Sebuah Opini)

Dari tempat ku duduk.